Penahanan Ijazah Sebagai Syarat Kerja, Masih Perlu dan Amankah Secara Hukum?
TOPICS
Human Nature di Dunia Ketenagakerjaan
Jika kita berbicara tentang human nature, lazimnya, tidak ada manusia yang bergembira jika harus bekerja di bawah tekanan yang tidak wajar, atau keterpaksaan. Contohnya, perbudakan, yang biasanya dilakukan oleh penjajah terhadap bangsa yang dijajahnya. Sudah jelas, tidak ada yang menyukai perbudakan, selain daripada pelaku perbudakan itu sendiri.
Demikian juga dengan di dunia ketenagakerjaan. Idealnya, posisi antara pemberi pekerjaan dengan penerima atau pelaku pekerjaan adalah sederajat. Perusahaan dan calon karyawan atau karyawan, sejatinya memiliki posisi yang sejajar. Oleh sebab itu, tidak seharusnya ada rasa keterpaksaan atau pemberian tekanan berlebihan yang tidak wajar kepada salah satu pihak yang mungkin dianggap lebih membutuhkan.
Artikel ini saya susun sebagai sebuah jawaban menyeluruh dari berbagai segi dan dimensi, mengenai fenomena, penahanan ijazah yang dilakukan perusahaan pada karyawannya. Melalui pembahasan yang mendalam, saya yakinkan Anda dapat memahami ini secara menyeluruh dari hulu hingga hilir; agar tidak tersandung ke dalam situasi karir yang dilematis dan merugikan banyak pihak.
Ulasan menyeluruh ini saya tulis setelah berkonsultasi bersama para ahli untuk memberikan kredibilitas terhadap informasi yang diberikan. Diskusi penuh insight saya lakukan bersama Yanuar Aditya Putra, SH, CIRP, selaku Advokat dalam memperkuat fondasi hukum yang menyertai konten artikel ini. Selain itu, para praktisi HR yang selama ini telah berbagi cerita mengenai topik ini beserta referensi hukum dari berbagai sumber digital tentunya juga berkontribusi besar untuk semakin melengkapi kekuatan artikel ini.
Kesepakatan Tentang Terminologi
Sebelum melangkah lebih jauh, marilah kita sepakati terlebih dahulu tentang terminologi yang akan kita gunakan di sini.
Setidaknya ada tiga terminologi berbeda yang saya temukan melalui sejumlah praktisi HR dan praktisi Hubungan Industrial yang kredibel untuk melukiskan fenomena ini, yaitu:
-
Penitipan Ijazah. Terminologi ini kita gunakan pada suatu kondisi di mana terdapat kesejajaran posisi atau derajat, antara perusahaan (sebagai pemberi pekerjaan) dengan pekerja (sebagai penerima atau pelaku pekerjaan).
Perusahan menetapkan syarat penitipan ijazah dengan syarat dan kondisi tertentu yang rasional dan beralasan kuat, sementara di sisi lainnya, Perusahaan juga terbukti melaksanakan norma-norma HR yang beritikad baik untuk menyejahterakan karyawannya; sehingga ada hubungan timbal-balik yang positif atau simbiosis mutualisme antara perusahaan dan pekerja.
-
Penahanan Ijazah. Terminologi ini kita gunakan pada suatu kondisi dimana terdapat kesan oportunisme di sisi perusahaan, dan kesan keterpaksaan di sisi pekerja. Perusahan yang merasa memiliki posisi kuat pada suatu aspek ruang dan waktu, dapat dengan leluasa menetapkan syarat-syarat penerimaan karyawan yang tidak masuk akal bagi para pencari kerja dan kandidat yang datang kepada mereka.
Misalnya, ada pabrik baru didirikan di suatu daerah yang tingkat penganggurannya sangat tinggi, sementara banyak sekali masyarakat sekitar yang berusaha untuk mendapat kesempatan bekerja sebagai buruh di pabrik tersebut, betapa pun ada sejumlah norma ketenagakerjaan yang dilanggar oleh sang pabrik.
Sang pabrik merasa “di atas angin” dan dapat memperlakukan pekerjanya dengan agak semena-mena. Penahanan ijazah lebih bernuansa agar ketika perusahaan memberlakukan tekanan besar pada kondisi kerja para pekerjanya, mereka tidak “kabur” begitu saja.
Umumnya, perusahaan seperti ini tidak terlalu peduli dengan nasib, kesejahteraan, dan kualitas pengembangan diri karyawannya. Begitu ijazah telah mereka tahan, maka ada kesan seolah-olah perusahaan dapat memberikan tekanan besar pada para pekerjanya, dengan tujuan efisiensi biaya dan laba sebesar-besarnya.
-
Penyanderaan Ijazah. Terminologi ini kita gunakan pada suatu kondisi di mana terdapat posisi yang asimetrik antara perusahaan dengan pekerja. Perusahaan menganggap pekerja sebagai hama, beban, bahkan parasit; sehingga dianggap layak diganjar hukuman melalui penyanderaan ijazah.
Telah banyak kisah nyata memilukan yang beredar, dimana pekerja yang telah mengalami perlakuan teramat tidak adil ketika bekerja di perusahaan dan telah berusaha mengundurkan diri baik-baik, namun mengalami penyanderaan ijazah. Perusahaan bahkan berusaha untuk memeras karyawan yang akan membebaskan ijazahnya, dengan cara menetapkan “penalti” yang angkanya tidak masuk akal, di luar klausul kontrak kerja, agar Pekerja tersebut dapat kembali memperoleh ijazahnya.
Fenomena ini ada yang berujung pada sengketa hukum. Sejumlah pekerja yang beruntung mampu terhubung dengan seorang Advokat, bahkan pernah terdapat kasus dimana pekerja melayangkan somasi pada perusahaan, dan kemudian memenangkannya.
Mengapa Harus Ijazah?
Umumnya, perusahaan yang menetapkan penitipan atau penahanan ijazah, paling suka dengan ijazah akademik semasa pekerja tersebut ada di tingkatan Sekolah Menengah atau Pendidikan Tinggi. Mengapa Perusahaan menyukai ijazah sebagai bahan penitipan atau penahanan?
Tidak lain adalah karena sifat ijazah yaitu harus diperoleh dengan usaha yang tidak mudah bagi banyak pekerja dibandingkan dengan surat-surat berharga lainnya yang melekat pada materi yang lebih mudah untuk diperoleh. Umumnya perusahaan tidak mau menukar ijazah dengan BPKB atau jenis surat yang lainnya.
Seperti yang telah kita semua ketahui, dengan asumsi bahwa kita memperoleh ijazah tersebut secara jujur, prosesnya tidak mudah. Hal ini membutuhkan biaya, tenaga, waktu, dan sejumlah proses akademik yang tidak mudah, yang harus dijalani.
Dengan kondisi seperti ini, umumnya perusahaan berasumsi bahwa pekerja akan memiliki komitmen yang tinggi pada perusahaan dalam melakukan tanggung jawabnya jika ijazah dititipkan atau ditahan oleh perusahaan. Ketika ijazah telah diserahkan pada pihak perusahaan, maka posisi tawar perusahaan seolah menjadi sangat kuat di hadapan pekerja, karena perusahaan telah memegang “surat sakti” milik pekerja.
Alasan Penitipan / Penahanan Ijazah: Dari Pihak Perusahaan
Dari berbagai diskusi dengan para pemilik perusahaan, HR, dan sejumlah kalangan profesional lainnya; berikut ini saya rangkumkan sejumlah alasan mengapa masih ada perusahaan yang memberlakukan penitipan atau penahanan ijazah:
-
Sejumlah perusahaan besar masih memberlakukan penahanan ijazah karena adanya program Management Trainee atau sejumlah proses pelatihan berbiaya mahal yang perusahaan berikan pada karyawan baru. Hal ini dinilai Agar karyawan baru tidak semena-mena mengundurkan diri tanpa berita dan menimbulkan kerugian moril dan materil bagi perusahaan, maka perusahaan memberlakukan penahanan ijazah dalam kurun waktu tertentu, sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Pada kondisi ini, pantas disebut sebagai penitipan ijazah, karena kesepakatan kerja terjadi di atas azas mutualisme. Latar belakang penitipan ijazah dapat diterima dengan akal sehat, karena rasional.
-
Ada sejumlah departemen atau fungsi pekerjaan yang secara langsung berurusan dengan uang tunai atau proses bisnis yang melibatkan uang dalam jumlah besar, misalnya: Sales, Finance / Accounting, Kasir, Field Collector, Audit, Procurement, dan sejumlah departemen atau fungsi pekerjaan lainnya. Kepada mereka, umumnya diberlakukan penitipan ijazah secara parsial, tidak kepada seluruh karyawan.
-
Sejumlah perusahaan memiliki klien dengan sistem kerja project-based, yang mana perusahaan harus berkomitmen untuk menyelesaikan proyek tersebut hingga selesai, sesuai perjanjian. Seperti halnya poin nomor 2, penitipan ijazah dalam hal ini menjadi sesuatu yang dapat diterima, karena adanya sifat pekerjaan yang wajib untuk diselesaikan hingga tuntas oleh orang-orang tertentu yang telah ditunjuk sebagai Pekerja oleh Perusahaan. Tanpa Penitipan Ijazah, Pekerja yang mengundurkan diri tanpa berita di tengah berlangsungnya proyek dapat merugikan sekaligus merusak nama baik perusahaan.
-
Ada beberapa jenis industri yang diwarnai dengan karakteristik spesifik, misalnya: daerah operasional yang terletak di pelosok, terpencil, atau daerah dengan infrastruktur yang minim. Umumnya ini terjadi pada berbagai Perusahaan yang berhubungan dengan eksplorasi & pengelolaan Sumber Daya Alam, proyek tertentu di daerah yang spesifik, atau jenis industri lainnya yang tidak lazim terdapat di kota besar. Tantangan HR terbesar biasanya pada mayoritas karyawannya yang merupakan perantauan dimana alamat pekerja yang sulit dilacak jika terjadi sesuatu yang merugikan perusahaan), sehingga dianggap memerlukan mekanisme Penitipan atau Penahanan Ijazah; lagi-lagi agar tidak “lari” meninggalkan tanggung jawab.
-
Nah, poin terakhir inilah yang biasanya menjadi motif terburuk bagi Perusahaan untuk memberlakukan Penahanan atau Penyanderaan Ijazah atas para karyawannya. Ada sejumlah Perusahaan yang gaya kepemimpinan atau manajemen internalnya telah lama bermasalah, sehingga tingkat keluar-masuk karyawan (Turnover Rate) menjadi tinggi, padahal karakter jenis industrinya tidak lekat dengan Turnover Rate yang tinggi. Dengan alasan agar Pekerja tidak semena-mena meninggalkan perusahaan, maka HR memberlakukan Penahanan atau Penyanderaan Ijazah, tanpa ada upaya untuk membenahi kualitas kepemimpinan dan / atau kualitas manajemen internal Perusahaan tersebut.
Pencari Kerja: Haruskah Berurusan Dengan Perusahaan Penahanan Ijazah?
Dari sisi pencari kerja, jika kita tidak mengetahui masalah yang saat ini mereka hadapi secara personal, kita bisa saja bertanya-tanya, mengapa para pencari kerja harus berurusan dengan perusahaan yang menahan ijazah mereka? Bukankah ada cukup banyak perusahaan di luar sana yang menerima karyawannya tanpa syarat aneh-aneh semacam penahanan ijazah?
Dari berbagai konsultasi dan diskusi bersama para pencari kerja dan peniti karir, berikut ini saya rangkum berbagai latar belakang masalah yang selama ini dihadapi oleh para pencari kerja dan peniti karir, hingga membuat mereka harus berurusan dengan perusahaan penahanan ijazah:
-
Kurang atau tidak terbukanya opsi bekerja diluar dari daerah domisilinya, sehingga membuat pilihan pencarian kerja mereka terbatas. Realitanya, di Indonesia, antara Jakarta dan non-Jakarta terdapat jurang perbedaan kuantitas, kualitas, maupun ragam lowongan pekerjaan, entitas perusahaan, dan jenis industrinya. Akibat mustahilnya para pencari kerja dan peniti karir untuk meninggalkan domisilinya karena berbagai alasan personal, maka seringkali mereka “terpaksa” berurusan dengan perusahaan penahanan ijazah yang bersedia mempekerjakan mereka di area domisilinya.
-
Keahlian dan keterampilan para pencari kerja yang tidak memungkinkan mereka untuk memiliki lebih banyak pilihan jenis industri, jenis pekerjaan, dan wilayah pemberian pekerjaan. Ini jamak terjadi pada para pencari kerja dengan tingkat pendidikan yang tidak tinggi karena berbagai kendala personal, atau para peniti karir yang selama ini lalai atau tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan dirinya, sehingga hanya memiliki satu keterampilan yang seringkali sudah ketinggalan jaman dan tidak dibutuhkan oleh industri-industri jenis baru.
-
Desakan kondisi ekonomi peniti karir yang tidak memungkinkan dirinya menunggu lebih lama dalam proses pencarian kerja yang tidak menentu dan berkepanjangan, sehingga betapa pun dirinya tidak setuju dengan penahanan ijazah, namun karena sudah terdesak keadaan ekonomi pribadinya, maka lowongan kerja yang mensyaratkan penahanan ijazah itu pun terpaksa diterimanya.
-
Tidak adanya kepemilikan aset lain yang dapat dijadikan sumber penghasilan, selain ijazah. Sejumlah pencari kerja yang kurang beruntung secara ekonomi, umumnya tidak memiliki aset lain (yang biasanya berbentuk fisik), selain ijazah. Misalnya, sang pencari kerja memiliki motor pribadi. Sudah tentu dia dapat menggunakannya untuk sementara menjadi pengemudi ojek online. Atau misalnya dia memiliki laptop, tentu dia dapat menggunakannya untuk menciptakan berbagai upaya seperti karya tulis yang dapat dijadikan sumber penghasilan. Namun karena tidak memiliki aset fisik sama sekali, hanya ijazahnya-lah yang dapat “diserahkan” pada perusahaan yang bersedia menerima dirinya bekerja.
-
Tergiur oleh Program Management Trainee atau angka upah yang menarik, dengan pelatihan dan ikatan dinas yang menjanjikan kemantapan karir lebih baik lagi kedepannya. Sebenarnya, inilah kondisi Penitipan Ijazah yang cukup ideal dan mutualistik, antara perusahaan dengan pekerja. Sayangnya, hanya sedikit perusahaan yang melakukan hal ini. Biasanya hanya perusahaan-perusahaan skala besar dengan sistem manajemen yang sudah mantap, yang dapat melakukannya. Selain itu, umumnya mereka hanya menawarkan program-program semacam ini pada Fresh Graduate atau peniti karir awal yang memiliki spesifikasi tinggi, misalnya berasal dari universitas ternama, berasal dari jurusan tertentu yang memang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut, memiliki IPK di atas rata-rata, memiliki keahlian khusus, dan sejumlah kekhususan lainnya.
Dasar Hukum Penitipan / Penahanan Ijazah
Bagaimana pandangan sejumlah produk hukum positif Republik Indonesia, tentang Penitipan Ijazah atau Penahanan Ijazah?
-
UU Ketenagakerjaan No. 13 / 2003: Tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur tentang Penitipan atau Penahanan Ijazah oleh perusahaan kepada pekerja.
-
Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 560/00/9350 tanggal 23 November 2016 tentang: Larangan Penggunaan Ijazah Asli Sebagai Jaminan Memasuki Dunia Kerja. Di dalamnya telah secara eksplisit mengatur pelarangan penahanan ijazah, beserta sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar.
-
Perda Jawa Timur No. 8 tahun 2016, khususnya pasal 42, yang secara secara eksplisit mengatur pelarangan penahanan ijazah, beserta sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar.
-
Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.” Dalil KUH Perdata ini dapat digunakan oleh pekerja untuk melakukan somasi / gugatan hukum secara perdata kepada perusahaan, ketika pekerja dirugikan oleh kerusakan atau kehilangan ijazah yang dilakukan oleh Perusahaan.
-
Pasal 374 KUHP, yang berbunyi: “Atas penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” Dalil KUHP ini dapat digunakan oleh pekerja untuk melakukan tuntutan hukum secara pidana kepada perusahaan, ketika pekerja dirugikan oleh kerusakan atau kehilangan ijazah yang dilakukan oleh perusahaan.
-
Yurisprudensi kasus perdata, dengan data sebagai berikut:
– Perkara Nomor : 15 / Pdt.G / 2015 / PN.Smn
– Penggugat : Lisa Yulianti, SE
– Tergugat : CV Jasmine Cakery
– Nilai Gugatan : Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah)
– Putusan : Tergugat wajib mengganti kerugian materil atas hilangnya ijazah Penggugat, dengan nilai Rp 20.980.000,- (dua puluh juta sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah). Terdapat perincian penggantian seluruh biaya perkuliahan Penggugat, sebagai landasan hukum.
Kesimpulannya, dengan cukup lengkapnya produk hukum positif Republik Indonesia yang telah mengatur pelarangan penahanan ijazah beserta sanksi perdata atau pidana bagi Perusahaan yang melanggarnya, maka apapun alasannya, sesungguhnya Penitipan Ijazah atau Penahanan Ijazah mendatangkan lebih banyak hal negatif bagi Perusahaan maupun Pekerjanya.
Bencana besar akan otomatis datang jika Perusahaan lalai dalam menjaga ijazah para karyawannya. Gugatan perdata maupun tuntutan pidana telah menanti. Apalagi sebelumnya telah ada Yurisprudensi kasus perdata yang membuktikan bahwa gugatan dari para pekerja yang ijazahnya diperlakukan dengan tidak sepantasnya oleh perusahaan, dapat dimenangkan oleh pihak pekerja.
Penitipan / Penahanan Ijazah: Mimpi Buruk Bagi Citra Perusahaan
Setiap individu pelaksana tugas-tugas HR yang perusahaannya menjalankan kebijakan Penahanan Ijazah pasti sepakat bahwa sebenarnya kebijakan tersebut adalah kebijakan yang tidak nyaman dan tidak aman untuk dijalankan atau dilaksanakan oleh semua pihak.
Akibat yang paling nyata dari kebijakan penahanan ijazah (tanpa alasan yang rasional) adalah bahwa pada akhirnya, karyawan yang bersedia bekerja di situ adalah karyawan yang cenderung terpaksa bekerja pada perusahaan tersebut, karena keterbatasan pilihan yang dimiliki. Kondisi seperti ini tentunya akan berpengaruh pada kontribusi dan performa dari karyawan tersebut pada pekerjaan dan perusahaan tempatnya bekerja.
Selain itu, tidak pernah ada data yang kuat, yang menyatakan bahwa kebijakan penahanan ijazah memiliki andil positif bagi turunnya tingkat keluar-masuk karyawan (Turnover Rate) yang secara langsung berkorelasi dengan meningkatnya kualitas budaya kerja atau budaya organisasi di suatu perusahaan.
Kalaupun memang benar bahwa penahanan ijazah berhasil menurunkan tingkat Turnover Rate, lalu pernahkah sang Owner atau HR perusahaan tersebut merenungkan dan bertanya pada dirinya, apakah karyawan yang saat ini masih bekerja bersama mereka, memang benar-benar setia, bahagia, dan berkembang selama bekerja di situ; ataukah hanya karena keterpaksaan dalam batinnya?
Saya sepakat bahwa Turnover Rate yang terlalu tinggi tidaklah baik untuk kontinuitas dan stabilitas bisnis perusahaan. Namun masalahnya adalah Turnover Rate yang rendah tapi jika disertai dengan Employee Engagement (keterikatan batin karyawan dengan perusahaannya) yang juga rendah, adalah sia-sia belaka.
Ini semua akan mencederai atau bahkan menyabotase kultur perusahaan. Padahal kultur organisasi / budaya kerja perusahaan adalah fondasi paling penting dari semua strategi bisnis secanggih apa pun. Perusahaan akan lebih banyak terisi oleh orang-orang yang depresi dan berusaha menghalalkan segala cara untuk mempertahankan posisinya, bukan oleh pekerja profesional yang bekerja demi prestasi & kontribusi.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa sepandai-pandainya perusahaan berusaha menyembunyikan adanya kebijakan penahanan ijazah di iklan lowongan pekerjaan yang mereka pajang di mana-mana, itu tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa reputasi sebuah perusahaan dapat dengan cepatnya tersebar ke mana-mana lewat ulasan di Job Portal, media sosial karir semacam LinkedIn, atau dari pembicaraan antar-peniti karir atau antar-pencari kerja.
Bagaimanakah Perusahaan Dapat Mengganti Kebijakan Penahanan Ijazah?
Sejumlah HR yang dirinya mendapatkan keharusan untuk menjalankan kebijakan penahanan ijazah secara total (semua karyawan & semua departemen), tanpa alasan yang rasional, seringkali bertanya, tentang mekanisme apakah yang dapat menggantikan kebijakan tersebut, yang juga ampuh untuk mempertahankan loyalitas karyawannya (secara fisik).
Secara Perjanjian Kerja, sesungguhnya pasal-pasal Perjanjian Kerja atau Peraturan Perusahaan yang tunduk pada UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 telah cukup mengatur sanksi penalti bagi karyawan yang melanggar kontrak kerja. Sehingga dengan demikian, penahanan ijazah menjadi tidak relevan lagi untuk dilakukan.
Ketika karyawan melanggar kontrak kerjanya, maka perusahaan memiliki posisi hukum yang kuat untuk memperkarakan karyawan tersebut, tanpa perlu melakukan penahanan ijazah.
Di mata hukum, Ijazah bukanlah sebuah jaminan yang dapat dinilai atau dikuantifikasi dengan nilai uang. Oleh karenanya, jika karyawan melakukan pelanggaran yang terbukti merugikan perusahaan, maka perusahaan tidak dapat mengeksekusi ijazah tersebut sebagai ganti rugi atas perbuatan karyawan yang merugikan perusahaan. Solusinya harus ditempuh dengan mekanisme hukum lainnya, bukan lewat penahanan, penyanderaan, atau eksekusi ijazah.
Bagaimana Jika Pencari Kerja “Harus Bersepakat” Dengan Perusahaan Penahan Ijazah?
Ada sejumlah pertanyaan, tentang apakah yang harus pencari kerja lakukan jika “terpaksa” bekerja di dalam perusahaan yang memberlakukan kebijakan penahanan ijazah. Berikut ini adalah sejumlah tips langkah hukum yang dapat dilakukan sedari awal menjalani proses rekrutmen:
-
Diskusikanlah bersama HR / Rekruter, tentang alasan rasional mengapa perusahaan harus menahan ijazah karyawannya. Tanyakanlah detail angka-angka keuangan yang digunakan sebagai pembenaran kebijakan penahanan ijazah. Misalnya: berapakah biaya pelatihan yang karyawan dapatkan dari perusahaan? Berapa lamakah ikatan dinasnya? Berapakah nilai proyeknya?
Dengan bertanya detail tentang itu, pencari kerja dapat dengan jernih memutuskan apakah pengorbanan mereka yang “terpaksa” merelakan ijazahnya dititipkan atau ditahan, memang sepadan dengan keuntungan moril, materil, dan karir yang kita didapatkan dari perusahaan. -
Mintalah tanda bukti yang kuat, jika perlu dilengkapi dokumen bermeterai, sebagai bukti serah-terima ijazah pada Perusahaan. Jagalah baik-baik bukti tersebut, dengan mendokumentasikan atau menggandakan dokumen tersebut, lalu menyimpannya di tempat yang aman.
Karena jika sampai ijazah tersebut rusak atau hilang, tanda bukti serah-terima inilah yang dapat gunakan sebagai bukti kuat untuk melakukan gugatan perdata atau tuntutan pidana terhadap perusahaan.
Akan lebih baik lagi jika proses serah-terima ijazah tersebut didokumentasikan dengan bukti, seperti foto atau video, yang nantinya akan menjadi dokumen penting yang dijaga dari kedua belah pihak. -
Minta pada HR / Rekruter / Legal di Perusahaan tersebut untuk mencantumkan klausul jangka waktu maksimal penahanan ijazah, dan klausul jaminan atau tanggung jawab ganti rugi dengan jumlah atau angka spesifik secara tertulis, andai ijazah tersebut rusak atau hilang semasa ditahan oleh Perusahaan.
Angka tersebut harus cukup masuk akal untuk mengganti seluruh biaya kuliah beserta biaya hidup semasa kuliah, hingga kita mendapatkan ijazah tersebut.
Para Fresh Graduate, pencari kerja, dan peniti karir harus sangat cermat dalam hal Legal / Hubungan Industrial sejak awal proses rekrutmen, agar kelak tidak terseret dalam pusaran masalah besar yang mempersulit dirinya.
Jika pihak perusahaan berkeberatan untuk mengungkapkan tiga poin tersebut, itu merupakan pertanda yang sudah jelas bahwa manajemen perusahaan tersebut tidak memiliki alasan yang rasional untuk melakukan penahan ijazah dan tidak menjalin keterbukaan dari awal proses rekrutmen berlangsung, dan tanpa kesediaan untuk bertanggung jawab dalam proses penyimpanannya. Jika tidak benar-benar terpaksa, tidak disarankan untuk bergabung ke dalam perusahaan semacam itu.
Di era informasi ini, siapa pun yang masih merasa kurang terinformasi perihal literasi hukum ketenagakerjaan, teramat disayangkan. Semua referensi hukum dan contoh kasus telah banyak tersedia di jagat maya yang, secara mudah dapat dicari dan dicermati. Sangatlah mungkin jika karyawan memiliki pengetahuan hukum lebih dalam terkait ketenagakerjaan untuk menghindari kondisi yang merugikan dirinya sendiri.
Tips Agar Pencari Kerja Memiliki Lebih Banyak Pilihan Tambatan Karir
Berdasarkan sebab-sebab terjadinya penahanan ijazah dan sebab-sebab mengapa masih ada karyawan yang “terjebak” dalam fenomena penahanan ijazah, berikut ini adalah sejumlah tips yang telah saya buktikan ampuh untuk menghindari kita dari perusahaan-perusahaan yang melakukan penahanan ijazah:
-
Jika memungkinkan, membuka peluang untuk bekerja di luar kota domisilinya, alias merantau. Kenyataannya, merantau tidaklah harus selalu ke Ibukota, melainkan dapat ke mana pun diperlukan. Dengan terbuka pada opsi merantau, maka dapat dipastikan pilihan tambatan karir seorang pencari kerja akan bertambah luas secara signifikan.
-
Milikilah dan kuasailah lebih dari satu keahlian khusus maupun keterampilan intelektual yang sesuai dengan tuntutan jaman. Saat ini, sudah bukan jamannya lagi, hanya menggantungkan nasib karir kita pada alma mater, IPK, atau ijazah semata.
-
Penguasaan bahasa asing selain Bahasa Indonesia, khususnya dalam hal ini yang paling umum adalah Bahasa Inggris. Sebagai langkah awal, cukup kuasai dulu Bahasa Inggris dengan benar-benar mendalam hingga ke taraf ketepatan gramatikal, presentasi, dan percakapan bisnis. Ketika itu semua tercapai, saya yakin, peluang untuk harus berurusan dengan perusahaan yang gemar menahan ijazah akan sangat kecil.
-
Eksplorasi teknologi dan media sosial sebagai salah satu kekuatan. Jangan menggunakan media sosial untuk (tanpa sadar) melemahkan karakter dan etos kerja kita. Gunakanlah media sosial sebagai sarana paling efisien untuk membangun investasi paling berharga atas diri kita, yaitu investasi pada bagian isi kepala (wawasan & kompetensi) dan investasi pada isi hati (karakter & moral) kita.
-
Membangun jaringan hubungan baik yang solid dengan para profesional yang menguasai bidang berbeda-beda, dari berbagai tingkatan keahlian. Bagaimanakah caranya? Sederhana saja. Kuasai dulu poin 1 hingga poin 4 di atas, maka poin 5 ini dapat kita lakukan dengan smooth. Jika kita telah mahir melakukan lima poin ini, kita akan mendapatkan satu opsi tambahan lagi dalam membangun karir, yaitu opsi kewirausahaan / entrepreneurship.
What’s next For HR and Recruiter?
Secara singkat dapat saya katakan, bahwa kebijakan penahanan ijazah adalah kebijakan yang lebih banyak mendatangkan hal negatif dibandingkan dengan hal positif. Marilah kita tengok contoh kejadian nyata di mana semakin banyak perusahaan yang berhasil merekrut dan mempertahankan talenta-talenta terbaik mereka, tanpa harus menahan ijazah.
Kisah nyata 1: Sebuah perusahaan konstruksi secara berkala mengadakan program Management Trainee. Di masa lalunya, perusahaan tersebut memberlakukan penahanan ijazah tanpa jangka waktu. Tim HR di perusahaan tersebut kemudian mendapatkan realita baru bahwa di jaman sekarang, para talenta terbaik cenderung menjauhi atau membatalkan niatnya untuk bergabung di perusahaan yang tanpa alasan rasional, menahan ijazah karyawannya tanpa batas waktu.
Akhirnya, HR di perusahaan tersebut secara kreatif mengganti kebijakan penahanan ijazah dengan sistem rekrutmen berpola, misalnya berdasarkan almamater. Dengan merekrut Fresh Graduate secara “bedol desa” dari satu almamater di Careers Fair ke kampus-kampus, Team HR di perusahaan tersebut mendapati bahwa ini akan berpengaruh langsung terhadap loyalitas karyawan. Karena fresh graduate yang direkrut berasal dari satu almamater yang sama, sehingga tercipta solidaritas dan sikap saling menyemangati ketika sedang berusaha menyelesaikan periode kontrak kerja.
Metode kreatif ini terbukti dapat menekan angka Turnover Rate di perusahaan tersebut. Penahan ijazah yang tadinya berlaku selama karyawan tersebut bekerja di situ, diturunkan intensitasnya menjadi penahanan ijazah selama periode Management Trainee berlangsung dan ikatan dinas wajibnya saja. Setelah itu, ijazah akan dikembalikan.
Untuk langkah berikutnya, Team HR perusahaan tersebut sedang dalam proses kreatif lainnya untuk menambah dan/atau menguji coba berbagai ragam program Talent Management, sehingga terbuka kemungkinan di masa depan, perusahaan itu tidak perlu lagi memberlakukan penahanan ijazah sama sekali.
Kisah nyata 2: Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Food and Beverage (F&B), dimana produknya berupa street snack berlisensi luar negeri, salah satu anggota tim HR menghadapi situasi di mana selama ini perusahaan tersebut memberlakukan penahanan ijazah tanpa batas waktu dan tanpa alasan rasional.
Setelah berbagai langkah yang tidak mudah untuk meyakinkan kolega setingkatnya hingga tingkat Direksi, dan dibantu dengan data-data solid dari seluruh departemen HR, sang HR tersebut berhasil mendapatkan “ijin masa uji coba” kebijakan tanpa penahanan ijazah bagi semua tingkatan karyawannya.
Dari data yang terkumpul hingga saat ini, HR tersebut menceritakan bahwa jika kebijakan ini didukung oleh pimpinan tertinggi, seluruh Direksi, dan seluruh jajaran manajemen lintas-departemen; dan juga dengan memaksimalkan seluruh fungsi HR misalnya Coaching, People Development, Talent Management, Workload Analysis, Compensation & Benefit, hingga Organizational Development; maka program penghilangan penahanan ijazah ini terbukti dapat berhasil, dengan tetap mempertahankan Turnover Rate tetap berada di tingkatan yang wajar (relatif tergantung jenis industrinya).
Rekan HR tersebut bercerita bahwa “jalan terjal” yang ia tempuh ini tidaklah mudah sama sekali, karena Direksi dan Manajemen kantornya memonitor ketat setiap gerak-langkahnya dalam membuktikan bahwa perusahaan tersebut tidak perlu menahan ijazah karyawannya dan tetap dapat mempertahankan Turnover Rate di tingkatan yang wajar.
Dengan bekerja secara strategis dan melakukan komunikasi yang baik bersama seluruh departemen lain, program tersebut terbukti dapat membuka mata Direksi dan Manajemen, bahwa kini perusahaannya dapat tetap mempertahankan talenta-talenta terbaiknya tanpa harus menahan ijazah.
Uniknya, dengan menghilangkan penahanan ijazah, justru terbukalah masalah-masalah lain di fungsi HR yang lain, yang selama ini “tertutup” akibat adanya penahanan ijazah di masa lalu. Dengan terlebih dahulu menghilangkan kebijakan penahanan ijazah, HR tersebut berhasil membuktikan bahwa ternyata Turnover Rate yang tinggi di masa lalu, tidak berhasil diatasi melalui penahanan ijazah, karena ternyata masalah utamanya adalah pada sistem Training, Coaching, dan People Development yang tidak baik di masa lalu.
Akhirnya, setelah menemukan sebab-sebab utama masalah yang selama ini terjadi, HR tersebut dapat membenahi seluruh fungsi HR agar berfungsi optimal, dengan tetap mempertahankan Turnover Rate ada di tingkatan wajar, tanpa harus menahan ijazah.
Mengenai langkah atau kebijakan lain yang lebih spesifik dan kreatif untuk menggantikan kebijakan penahanan ijazah, saya pribadi mendorong para HR untuk lebih banyak “bergaul” dengan sesama HR lainnya dari berbagai bidang industri dan tingkatan keahlian atau pengalaman, melalui berbagai sarana komunikasi yang populer semisal WhatsApp Group, atau asosiasi profesi HR. Karena tidak mungkin mengemukakan satu solusi yang dapat berjalan tepat untuk semua jenis perusahaan dan semua karakter organisasi.
Marilah kita serapi artikel ini dengan jernih, bahwa apa yang tertulis di sini adalah justru untuk memperkuat posisi perusahaan di mata para kandidat maupun para karyawannya, bahwa perusahaan memiliki cara lain yang lebih cerdas dan bermartabat untuk menjaring dan mempertahankan talenta-talenta terbaik ke dalam sistem maupun organisasinya, tanpa harus menahan ijazah.
Akhir kata, perusahaan dan juga peniti karir harus mampu memposisikan diri dengan sejajar, dimana keuntungan dapat dirasakan oleh kedua belah pihak. Selain itu, di era yang semakin kompetitif ini, sudah saatnya para perusahaan secara strategis memikirkan bagaimana menjadikan perusahaan sebagai sebuah media positif bagi pada peniti karir untuk berkontribusi dengan tingkat loyalitas yang tinggi, tanpa harus merasakan adanya beban karena ada barang mereka yang berharga yang ditahan oleh perusahaan.
Sedangkan untuk para peniti karir, kini sudah saatnya kita semua memiliki karakter, wawasan luas, kompetensi, produktivitas, kontribusi nyata, dan kecakapan membangun hubungan baik dengan banyak orang; hingga tidak ada lagi satu pun orang atau perusahaan yang “berani” menanyakan soal penahanan ijazah.
Belum ada komentar yang tersedia!